andre taufan

mencintai Aceh apa adanya

Masa depan hari ini, esok, atau sekarang..???

with one comment

anak kecil yang sedang mengumpulkan kardus

Sudah pernah baca Novel terkenal karya Andrea Hirata yang berjudul laskar pelangi, itu..tu… novel yang sudah di filmkan dan mendapat respon yang sangat luar biasa dari masyarakat pecinta film indonesia. Lintang, adalah salah satu tokoh dalam film itu, ia anak dari keluarga nelayan miskin dipedalaman Bangka Belitung.

Dalam Laskar pelangi, setiap harinya lintang harus mendayung sepeda bututnya sejauh 100 kilometer untuk sampai kesekolah, dan usaha keras lintang itu membuatnya berhasil mengenyam pendidikan dasar 9 tahun yang dicanangkan Pemerintah Indonesia sejak tahun 1994.

Wah…wah…wah…salut untuk lintang yang mengikuti rencana pemerintah kita. Tapi kalau saya boleh membandingkan, nasib lintang sedikit beruntung daripada tokoh dicerita saya ini.

Apa yang kamu pikirkan tentang remaja lelaki di umur 16 tahun..?

Mungkin tentang seorang remaj yang ingin menunjukkan jati dirinya kesemua orang…, atau seorang remaja yang rajin membaca buku pelajaran di tahun pertama ia masuk sekolah Menengah Atas (SMA). Namun pendapat itu jauh berbeda ketika saya melihat seorang remaja lelaki bertubuh kerdil, kurus, dan berkulit hitam mengkilat dibalut dengan keringat dan sedang sibuk bekerja membajak sawah, ditengah teriknya panas matahari siang itu.

Namanya adalah Muksal mina, umurnya sekarang baru 16 tahun. Ia harus menjadi mesin untuk melanjutkan hidup keluarganya. Sosok seorang ayah yang seharusnya menanggung biaya hidup keluarga telah pergi selamanya sejak ia berumur 7 tahun. Hidup muksal mina drastis berubah ketika ayahnya meninggal menjadi korban konflik Aceh, ia harus rela putus sekolah dan bekerja demi kelangsungan hidup ibu dan ketiga adiknya.

“Setelah ayah enggak ada lagi, semua kebutuhan keluarga saya yang menanggung, apalagi saya punya tiga orang adik yang harus saya biaya, dan sekarang mereka sudah bisa sekolah”

Bagi Muksal larut dalam kesedihan adalah satu hal yang bodoh. Muksal berpikir sekarang semua kewajiban ayahnya telah menjadi kewajibannya sebagai anak tertua dalam keluarga. Termaksud membiayai ketiga adiknya sekolah. Layaknya manusia biasa yang memiliki rasa cemburu, Muksalpun demikian, terkadang ia merasa cemburu kalau melihat teman-temannya berpakaian rapi dengan seragam sekolah. “Kepinginnya sekolah lagi…kan bisa rapi, enggak kalau searang kan seperti gembel, tapi ya……bagaiaman….??? kalau saya sekolah gak bisa kerja”.

Sepertinya Muksal adalah seorang yang giat bekerja, sangkin giatnya..!!! pekerjaannya telah merampas hak sejatinya untuk bermain dan belajar.. Tapi muksal ikhlas melakukannya, itu semua dilakoninya demi kelangsungan hidup keluarganya. Jika pagi datang ia telah siap dengan jetor (alat untuk membajak sawah) milik tetangganya. Padahal untuk ukuran remaja seumurannya sangatlah tidak wajar bekerja membajak sawah.


“Payah juga bawa jetor karena kita masih kecil, karena ada tanah yang keras dan kalau ada sawah yang banyak airnya susah juga, terus panas lagi, kalau hujan juga susah, makanya serba salah. tapi ya…mau apalagi….”


Keadaan seperti itu yang memaksa Muksal untuk bekerja keras, namun usaha untuk menghidupi keluarga tidak sampai disitu saja, terkadang tak ada kata istirahat baginya. Selain membajak sawah, dimalam hari ia pergi kelaut untuk membantu nelayan mencari ikan. Namun lagi-lagi bekerja di laut bukanlah pekerjaan yang wajar untuk anak seumurnya.


“Di laut enggak enak, enak kali didarat daripada di laut. Di laut anginnya kencang, ombaknya besar….kadang saya takut juga”

Muksal bercerita, ketika rasa takut datang saat ia berada dilaut, biasanya untuk mengusir rasa takut itu ia hanya mengingat saat bercanda tawa bersama ibu dan adik-adiknya di rumahnya yang hanya berukuran 4×7 meter beratapkan daun rumbia. Namun sesekali rasa sedih itu tak dapat ia bendung, dan muksalpun menangis jika mengingat cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Tapi ia yakin, kelak salah satu dari ketiga adiknya dapat mewujudkan cita-cita itu. Meski sekarang muksal hanya bisa memberikan uang sebesar 30.000 rupiah per-hari untuk keluarganya.

Written by andre taufan

November 21, 2008 at 4:32 am

Posted in coretan damai

One Response

Subscribe to comments with RSS.

  1. sungguh miris ketika kita melihat semua realita yang terjadi di negeri yang kita cintai ini..
    sampai kapankah kemiskinan itu terus menjadi warisan nenek moyang yang tidak berharga dan tidak diharapkan oleh setiap manusia dibumi ini..??
    bangkitlah pemuda penerus bangsa…!!!
    bejuanglah demi sesama..!!!
    (logatnya acem kampanye)
    hehehehehe

    LANJUTKAN ndre kreatifitasmu….!!!

    izal

    March 21, 2009 at 9:49 pm


Leave a comment